Selasa, Januari 13, 2009

Roy Janis Lawan Megawati

ROY JANIS LAWAN MEGAWATI
Oleh Tjipta Lesmana

Fenomena politik yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setelah Kongres II di Bali menarik untuk disimak. Fenomena itu adalah (a) tampilnya Roy BB Janis sebagai pemimpin Gerakan Pembaharuan PDIP; (b) semakin sengitnya perseteruan antara Roy dan Megawati, masing-masing mengeluarkan ancaman untuk memecat lawannya, dan (c) terjadinya aliansi antara Roy-Arifin Panigoro-Laksamana Sukardi.

Tidak banyak orang yang tahu Roy BB Janis dan Megawati pada awalnya berteman dekat sekali. Mereka sesungguhnya kawan seperjuangan tatkala masih bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di era Soeharto. Ketika itu sudah ada tanda-tanda PDI bakal "mbalelo" terhadap kekuasaan Soeharto. Menjelang Sidang Umum MPR 1993 "kelompok radikal" PDI tiba-tiba mengeluarkan pernyataan terbuka yang intinya supaya Soeharto tidak dipilih kembali sebagai Presiden.
Tidak banyak media yang berani memuat pernyataan ini, mengingat situasi politik waktu itu. Pernyataan itulah yang menjadi faktor utama kenapa Megawati kemudian "diinjak-injak" oleh kekuasaan Soeharto hingga klimaksnya pada 27 Juli 1996. Megawati dipandang sangat berbahaya yang ingin menggulingkan Soeharto.

"Kelompok radikal" PDI terdiri atas sekitar 10 anggota, antara lain Megawati, Roy Janis, Laksamana Sukardi, Sophan Sophiaan, dan Tarto Sudiro. Mereka semua anggota MPR. Mereka sering mengadakan "rapat gelap" di lokasi yang berpindah-pindah untuk membahas situasi negara. Dalam rapat-rapat, Megawati selalu menolak tampil ke depan, walaupun dibujuk-bujuk oleh rekan-rekannya.

Sebuah sumber mengatakan wawasan politik Mega ketika itu masih tergolong "hijau", ngomong pun belum berani, apalagi memimpin rapat. Dia lebih banyak diam dalam rapat-rapat dan lebih suka menyuruh Roy dan Tarto Sudiro memimpin rapat. Hampir semua anggota kelompok itu diam-diam sudah sepakat untuk mendorong Mega tampil memimpin "PDI baru", menggusur Soerjadi yang dinilai sudah terkooptasi pada kekuasaan Soeharto.

Kacang Lupa Kulitnya

Perjuangan "kelompok radikal" semakin sengit ketika aparat keamanan semakin keras menekan mereka. Setelah melalui perjuangan panjang, bahkan nyaris terancam nyawa, Megawati akhirnya berhasil diusung sebagai Ketua Umum PDI, nama partai pun berubah menjadi PDIP.

Kawan-kawan Mega, khususnya Roy, rupanya berpendapat mereka punya andil sangat besar dalam mengusung Mega ke kursi pimpinan tertinggi PDIP yang akhirnya membawa dirinya ke kursi Presiden. Tapi, di mata mereka, Mega ibarat "kacang yang melupakan kulitnya".

Sejak menduduki jabatan Wakil Presiden, Mega dikabarkan mulai menjaga jarak dengan mereka. Untuk bertemu di kantornya pun, yaitu Istana Wakil Presiden, tidak bisa. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, orang-orang kepercayaannya langsung diberikan tanda "pass khusus" sehingga mereka bisa keluar masuk Istana dengan bebas. Tapi, hal serupa tidak berlaku untuk Megawati.

Ketika Mega akhirnya menjadi Presiden, komunikasi bertambah sulit dan bertambah formal. Satu-satunya forum untuk berinteraksi hanyalah "forum Selasaan", yaitu rapat DPP di Lenteng Agung setiap hari Selasa.

Sejumlah kader partai - seperti Roy, Arifin dan Kwik Kian Gie - tidak suka melihat perilaku Ir Soetjipto yang suka menjilat. Dalam pemilihan umum (Pemilu) 1999, PDIP menang di Pulau Jawa (termasuk Jawa Barat di mana Golkar sangat kuat), Bali, Sumatera dan Lampung, kecuali Jawa Timur yang kalah satu kursi dari PKB. Ketika itu, Soetjipto Ketua DPD PDIP Jawa Timur. Di DKI Jakarta, PDIP menduduki peringkat I, menyabet 30 kursi DPRD. Roy-lah yang menjabat Ketua PDIP Jakarta.

Tahun 1999 MPR menggelar Sidang Umum, Tjipto diangkat Ketua Fraksi MPR, sedang Herry Achmadi Sekretarisnya. Lagi-lagi ia gagal mengusung Mega ke kursi Presiden. Pemilu tahun 2004, PDIP kalah memalukan. Ironisnya, Tjipto juga yang dipercayakan Megawati sebagai Ketua Tim Pemenangan Pemilu, dan Herry Achmadi sebagai Sekretaris. Dalam Kongres II yang baru lalu, Tjipto memang tidak lagi dipasang sebagai Sekjen, tapi Mega tetap mengangkatnya sebagai salah satu Ketua. Pramono dijadikan Sekjen.

Kelemahan Mega dalam memimpin partai, kata sebuah sumber, ia tidak menerapkan "merit system". Orang yang berjasa pada partai tidak pernah diberikan rewards. Sebaliknya, orang yang gagal tidak pernah diberikan punishment, malah tetap dipercaya untuk menduduki posisi-posisi kunci. Tapi, yang paling menjengkelkan kader-kader eks kawan seperjuangan Mega ialah intervensi kuat Taufik Kiemas (TK) dalam kehidupan partai.

TK - melalui beberapa fungsionaris partai - kata mereka, selalu campur tangan dalam pemilihan kepala daerah, khususnya pemilihan gubernur karena kepentingan-kepentingan sempit. Tapi, ironisnya, di hampir semua daerah di mana mereka "bermain", calon PDIP kalah. Ini membuat massa PDIP marah.

"Point of no Return"

Setelah Kongres II, perseteruan antara Roy dan Mega berambah sengit dan mencapai tahap point of no return. Roy mungkin menganggap kepalang basah. Dia tahu persis siapa itu Megawati sebenarnya. Dia tahu persis apa "modal perjuangan" Mega pada tahap awal. Maka, ia tidak pernah takut. Menurut saya, jika Megawati nekad memecat Roy dkk., ini merupakan tindakan set-back dan akan menampar mukanya sendiri. Sebab kelompok Gerakan Pembaharuan PDIP cukup mengakar dan mempunyai pendukung besar di akar rumput.

Yang mengherankan ialah bergabungnya trio Roy-Arifin-Laksamana. Roy dan Arifin semula tidak sejalan. Dua tahun lalu sudah muncul dua kubu dalam PDIP, masing masing "kubu Jenggala" (Arifin) dan "kubu Tirtayasa" (Roy cs). Kelompok Jenggala dituduh hendak menggulingkan Mega, sedang kelompok Tirtayasa membela Mega. Kenapa sekarang Roy dan Arifin bisa bersatu? Itu pertanda, keduanya melihat PDIP dalam status "lampu merah" setelah Mega dipilih kembali sebagai Ketua Umum.

Laksamana Sukardi semula juga dikenal "orang Mega". Ia dekat dengan Ketua Umum, dekat dengan TK. Laks sering disebut-sebut salah satu "kasir PDIP" dalam Pemilu 2004. Orang seperti Laks, akhirnya pecah kongsi juga dengan Mega. Lalu, ke mana Kwik Kian Gie? Dalam kepengurusan Gerakan Pembaharuan PDIP, kita tidak membaca nama Kwik. Kenapa dia tidak bergabung dengan Roy-Arifin-Laksamana?

Perseteruannya dengan Laksamana, mungkin menjadi salah satu ganjelan Kwik untuk bergabung. Ketika menjabat Menteri Negara BUMN, kebijakan-kebijakan Laksamana sering dikecam Kwik sebagai Ketua Bappenas. Kwik yang berkata tanpa tedeng aling-aling bahwa PDIP merupakan partai yang paling korup. Megawati pusing menghadapi gerakan itu, sebab ia tahu yang bergabung dalam gerakan itu bukanlah sembarang kader. Mereka punya massa. Maka, PDIP terancam pecah, dan parah sekali perpecahannya!

Penulis adalah Pengajar FISIP Universitas Pelita Harapan.

-Sebagaimana dimuat dalam SINAR HARAPAN 14 April 2005-

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0504/14/opi02.html

0 Comments: